Dalam Konteks
sejarah filsafat Barat, banyak sejarawan yang menetapkan tempat kelahiran
filsafat Barat, yaitu di Yunani kuno, sekitar abad ke -6 SM. Mengapa filsafat
lahir di Yunani, padahal di tempat–tempat lain, seperti Mesopotamia, Mesir,
Babylonia, kemajuan peradabannya bisa dibilang maju pada zamannya. Setidaknya,
ada tiga alasan yang disebutkan K.Bertens mengapa Yunani menjadi tempat
kelahiran filsafat, yakni berkaitan dengan mitos, kesusastraan, dan pengetahuan
bangsa kuno.
1. Mitos
Yunani
kuno sebagai tempat lahirnya filsafat memiliki mitos – mitos sebagaimana bangsa
– bangsa lain pada masa itu. Yang membedakannya yaitu bagaimana mitos–mitos
di Yunani kuno dapat menjadi perintis lahirnya filsafat? Singkatnya, mitos–mitos di Yunani kuno yang diceritakan oleh rakyat dari mulut ke mulut
dikumpulkan oleh beberapa orang, kemudian ditulis dan disusun menjadi buku yang
sistematis, semacam kitab suci. Sebelum menjadi buku utuh, mitos–mitos di
sensor oleh yang mengumpulkan. Mitos–mitos yang tidak sesuai atau yang
bertentangan dengan mitos–mitos yang lain, dibuang. Dari sinilah terlihat
sifat rasonal bangsa Yunani.
Selanjutnya,
ketika mitos–mitos sudah dibukukan dan banyak dipelajari serta didalami
muatan isinya, maka akan memunculkan keinginan untuk mengkritisi mitos.
Terutama mitos–mitos yang jauh bertentangan dengan mitos yang lainnya, nalar
ceritanya tidak bersambung, serta bertentangan dengan nalar dan indra yang
mulai serius meneliti, mencermati, dan mengobservasi dunia. Tatkala mitos
dikaji seperti ini, maka secara tidak langsung akan melahirkan “filsafat” sebagai
lawan dari mitos. Dalam ungkapan lain, mitos melawan logos.
2. Kesusastraan
Kesusastraan
yang berkembang di Yunani kuno dapat dijadikan landasan lahirnya filsafat.
Sebelum filsafat lahir, sastra sudah lumrah dipelajari disana. Dua karya sastra
Homeros yang berjudul Ilias dan Odyssea paling banyak digemari dan
dipelajari oleh rakyat Yunani kuno. Oleh karena itu, kesusastraan, selain untuk
hiburan, dalam waktu bersamaan juga menjadi semacam teks pendidikan untuk
rakyat Yunani kuno. Nuansa kesusastraan yang seperti ini jelas akan melahirkan
orang–orang yang mencoba untuk mengkaji atau mengkritik masalah sastra, baik
gaya tulisan, tema, maupun isinya. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan
filsuf akan lahir dari suasana sastra yang demikian.
3. Pengetahuan Bangsa Timur Kuno
Peradaban
bangsa lain, seperti Mesir dan Babylonia, tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kedua bangsa besar tersebut ternyata benar–benar memberikan sumbangan
pengetahuan berharga bagi bangsa Yunani. Mesir memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan berupa ilmu ukur dan ilmu hitung. Sementara, Babylonia memberikan
pengaruh terhadap perkembangan ilmu astronomi di Yunani Walaupun demikian,
bangsa–bangsa lain yang memberikan sumbangan pengetahuan terhadap bangsa
Yunani tidak dapat dilebih–lebihkan. Sebab, ilmu pengetahuan sebelum dikuasai
oleh bangsa Yunani masih bersifat praktis, belum menjadi ilmu pengetahuan yang
benar–benar ilmiah.
Baru
pada bangsa Yunani-lah ilmu pengetahuan ditemukan coraknya yang benar–benar
ilmiah. Dan, baru di Yunani-lah, diketahui imu pengetahuan dipraktikkan untuk
ilmu pengetahuan itu sendiri, dalam artian tidak hanya digunakan dalam hal–hal yang praktis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dari bangsa–bangsa lain
di Yunani mengalami perkembangan luar biasa, yang tidak disangka–sangka
sebelumnya oleh bangsa yang lebih dulu memilikinya. Dengan demikian ilmu
pengetahuan yang seperti ini, tak heran jika filsuf lahir di Yunani kuno.
Disamping
ketiga alasan tersebut, K. Bertens memberikan alasan lain atas lahirnya filsafat
tersebut, K. Bertens memberikan alasan lain atas lahirnya filsafat di Yunani
kuno yang sangat penting untuk diketahui, yaitu percaturan politik yang
melembaga di Yunani kuno. Politik di Yunani kuno, pada saat lahirnya filsafat
dapat dikatakan bercorak demokrasi. Keputusan–keputusan politik yang
berhubungan dengan polis (negara
kota) diambil dalam sidang umum, dalam bentuk perdebatan atau diskusi. Begitu
pula keputusan hakim dalam sidang pengadilan diambil atas dasar diskusi. Dalam
iklim politik yang demikian, orang–orang Yunani kuno secara tidak langsung
dituntut untuk mampu menyampaikan pendapat, pemikiran, argumentasi, dan
pandangan dengan sangat baik dan cerdik di depan umum. Tujuannya adalah untuk
menyakinkan khalayak ramai bahwa mereka mampu memenangkan sidang atau diskusi.
Argumen yang dibangun dalam orasi di pengadilan atau sidang umum merupakan
dasar pijakan untuk menilai dan merumuskan serta menetapkan kesimpulan dan
keputusan.
Melihat
nuansa politik yang demikian, dapat dikatakan bahwa antara logos dan politik
sangat berkaitan erat di Yunani kuno. Bukanlah sebuah kebetulan jika nuansa
politik itu telah mendorong sebagian orang untuk melakukan refleksi terhadap
penggunaan bahasa, argumentasi, dan pemikiran masyarakat Yunani kuno.
Filsafat
pada awal kelahirannya masih mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan, seperti
fisika, matematika, politik, astronomi, sosiologi dan lain sebaginnya. Semua
cabang filsafat ini menjadi ilmu tersendiri (terspesialisasi) di zaman modern.
Karena itulah, filsafat sering disebut sebagai induk (ibu kandung) segala ilmu
pengetahuan. Dan, karena itu pula, ilmu ilmu pengetahuan yang terspesialisasi
memiliki tempat kelahiran serta nenek moyang yang sama dengan filsafat, yaitu
Yunani kuno.
Referensi
Rahman,
Masykur Arif, 2013. Buku Pintar Sejarah
Filsafat Barat. Jogjakarta : IRCiSoD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar