Gambar ilustrasi | sumber foto
Sore itu hujan turun sangat deras diantara riuhnya ratapan orangtua tercinta untuk anak terkasih.
Hujan lebat itu diawali dengan perkataannya yang sangat lirih kepada anak bungsu yang menjadi sandaran dikala hatinya teriris
"Apakah uang telah membutakannya?" ujar mamah.
Hujan lebat itu diawali dengan perkataannya yang sangat lirih kepada anak bungsu yang menjadi sandaran dikala hatinya teriris
"Apakah uang telah membutakannya?" ujar mamah.
Ya, mereka rela
meninggalkan kampung halamannya demi sang anak, meninggalkan segala
kenangan yang telah bertahun-tahun mereka bina dalam atap itu. Awalnya
fasilitas yang diberikan sang anak sangatlah mewah. Sang anak memberikan
sedikit modal untuk ayahnya agar bisa membantu keuangan dan membantu
sekolah adiknya.
Berbulan-bulan usaha itu berjalan namun sayang bukannya
untung malah buntung, kerugian yang didapat sang anak membuat sang anak
geram. Sehingga sang anak semakin berubah 180% dari biasanya meski
fasilitas tetap diberikan tapi perlakuan yang sangat tidak patut di
lakukan kepada kedua orang tuanya.
Dia sang anak sulung seenaknya memarahi, menyuruh sang ibu
tidak sadar bahwa dulu tangannyalah yang mengantarkan dia bisa sesukses
ini.
Sikap negatifnya semakin menjadi si sulung tidak lagi seperti dulu menyayangi orangtuanya sepenuh hati.
Sehingga satu persatu kebahagiaan yang pernah tercipta kian kandas dan ini tentang perasaan dan batin orangtua tercinta, mereka harus rela mengorbankan waktu serta tenaganya untuk si sulung namun sayang si sulung tidak pernah mengerti arti dari senyuman bahkan tangisan mereka.
Sehingga satu persatu kebahagiaan yang pernah tercipta kian kandas dan ini tentang perasaan dan batin orangtua tercinta, mereka harus rela mengorbankan waktu serta tenaganya untuk si sulung namun sayang si sulung tidak pernah mengerti arti dari senyuman bahkan tangisan mereka.
Pagi itu hari minggu
fikir orangtuanya hari libur mereka akan terlepas dari tugas mengurus
anak serta rumah tangga anaknya namun telpon tiba-tiba berdering dan
sang mamah pun mengangkat telponnya
"Mah dimana? Sini Aldy belum makan" kata si sulung dengan nada tinggi
"Di rumah neng, mamah ga enak badan" dengan nada lesu mamah menjawab
"Sakit sedikit juga dirasain" jawab si sulung dengan langsung menutup telponnya.
"Mah dimana? Sini Aldy belum makan" kata si sulung dengan nada tinggi
"Di rumah neng, mamah ga enak badan" dengan nada lesu mamah menjawab
"Sakit sedikit juga dirasain" jawab si sulung dengan langsung menutup telponnya.
Air mata yang terjatuh
dari kelopak mata sang mamah seakan menandakan bahwa dia sangat
terluka atas perkataan sang anak. Keikhlasan yang diberikan orangtuanya
itu memang menandakan kasih sayang mereka kepada sang anak tanpa meminta
balas. Meski lebih dari seorang pembantu sang anak memperlakukan
mereka.
Andai sang anak
berfikir, berfikir lebih jauh bahwa dialah mamah terhebat yang
mencintainya sangat tulus meski perlakuannya sangat tidak wajar.
Menunjuk dengan telunjuknya seenak mungkin. Tanpa sadar dulu jari-jari
manisnyalah yang membersihkan sang anak dari kotoran, mengurusnya dan
menina bobokannya tapi sang anak tidak berfikir ke arah sana! Mungkin
kenikmatan dunia ini telah membuatnya menjadi durhaka kepada kedua
orangtuanya
Suatu ketika sang ayah
berbicara kepada si sulung untuk menanyakan bagaimana kelanjutan usaha
yang mereka rintis itu. Namun si sulung tidak menanggapi dan sama sekali
tidak merespon. Kebimbangan dan gundah menyertai hati sang ayah. Apakah
harus pulang ke kampung halaman atau tetap bertahan bersama anak
sulungnya. Sementara bertahan dengan anak sulungnya sang ayah tidak
pernah mendapat sepeser pun uang. Tetapi dengan terang-terangan sang
anak malah keasikan mengahibskan uangnya bersama anak suaminya tanpa
memikirkan kedua orangtuanya itu.
Sungguh kenikmatan dunia bisa membutakan dan menutup hati nurani manusia. Apa mereka tidak berfikir bahwa berkat sang ayahlah yang dulu tidak pernah menyerah untuk mencari setitik harapan untuk memberi makan sang anak yang jelas sekarang sang anak seenaknya membicarakan dengan mulutnya itu tanpa sadar bahwa keringat sang ayahlah yang pernah menghasilkan uang untuk menyekolahkan mulutnya itu!
Sungguh kenikmatan dunia bisa membutakan dan menutup hati nurani manusia. Apa mereka tidak berfikir bahwa berkat sang ayahlah yang dulu tidak pernah menyerah untuk mencari setitik harapan untuk memberi makan sang anak yang jelas sekarang sang anak seenaknya membicarakan dengan mulutnya itu tanpa sadar bahwa keringat sang ayahlah yang pernah menghasilkan uang untuk menyekolahkan mulutnya itu!
Dimana hati serta
perasaan sang anak? Itukah balasan atas apa yang telah diberikan
orangtuanya? Apakah sekolah tinggi yang sang anak tempuh tidak
menghasilkan apapun untuk sedikit menghormati kedua orangtuanya?
Dia sadar bahwa surga itu ada di telapak kaki ibunya tapi dia
seakan berpura-pura bodoh bahwa surga itu tidak ada, apakah pangkat
serta gelar yang dia miliki hanya untuk menyakiti perasaan orangtuanya?
Bahkan sampai saat ini
pun sikap sang anak tetap seperti itu! Dia tidak akan pernah merasa
menyesal sampai saatnya tiba tuhan menjemput dan mengambil orangtuanya
dari penderitaan yang selama ini di beri sang anak perbuat.
Penulis : Intan Silvi Nurlaila
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Siliwangi Bandung
Penulis : Intan Silvi Nurlaila
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP Siliwangi Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar